Di Acara Ulang Tahun Itu


Di Acara Ulang Tahun Itu

Seminggu lalu datanglah undangan untuk kami anak-anak penghuni Panti Asuhan. Diantarkan seorang ibu dan anak gadisnya, kira-kira usia sekolah SMA. Mereka naik Corolla biru. Dari pakaian, cara bicara dan perilaku, kelihatan tamu ini orang gedongan. Golongan yang hidup lebih dari kecukupan. Mereka mengundang anak-anak Panti Asuhan Untuk ikut acara ulang tahun Rebo jam tujuh malam.

Dan berangkatlah kami pada waktu yang ditentukan berjumlah dua puluh tiga, termasuk bapak dan ibu asrama. Jalan kaki bersama, karena jaraknya cuma terpisah sepuluh rumah saja.

Rombongan disilakan masuk dengan ramah, dan anak-anak berusaha duduk di belakang-belakang saja, tapi disuruh berbaur dengan tamu-tamu lainnya, para remaja belasan tahun. Mereka sehat-sehat, harum-harum, berbaju mahal dan tembem-tembem pipinya.

Saya berjuang melawan sifat minder saya, duduk di tengah ruang tamu yang luas, di atas karpet bersila, pegal dan canggung di antara jajaran barang antik dan macam-macam perabotan, di bawah lampu keristal bergelantungan.

Tapi alangkah aku jadi heran, tidak ada acara potong kue dan tiup lilin, tidak ada tepuk tangan mengiringi lagu Hepi-Bisde-Tuyu - Hepi-Bisde-Tuyu.

Lalu seorang remaja membaca Surah Luqman. Dengan suara amat merdunya dan suaranya berubah jadi untaian mutiara yang berkilauan jadi kalung di leher pendengarnya.

Kemudian Lia yang berulang tahun berpidato sangat mengharukan.

”Dalam acara seperti ini, bukan saya yang jadi pusat perhatian diperingati atau dihargai, tapi mama... Ya, mama kita, Ibunda kita dan ayahanda. Ibunda dan ayahanda adalah pusat perhatian kita. Hari ini, enam belas tahun yang lalu Mama melahirkan saya. Posisi saya sungsang waktu itu, saya terlalu besar, jadi mama harus sectio Caesaria. Mama dibedah, berdarah-darah. Seluruh keluarga khawatir dan berdoa. Di luar ruang operasi duduk menanti berita, dalam kecemasan luar biasa. Tapi alhamdulillah
kelahiran selamat walaupun mama sangat menderita.

Sekarang ini, enam belas tahun kemudian ulang tahun saya dirayakan. Saya pikir, tidak logis saya jadi pusat perhatian. Harus mama yang jadi pusat perhatian. Bukan saya, Saya pikir, tidak logis saya minta kado, harus mama yang diberi kado…”

Anak gadis itu berhenti sebentar, dia sangat terharu, kemudian dia mengambil sebuah bungkusan kertas berkilat, diikat pita berbentuk bunga.

”Mama, Terima kasih mama, terima kasih, Mama telah melahirkan saya dengan susah payah.
Mama menyabung nyawa berdarah-darah persis malam ini, 16 tahun yang lalu.
Terimalah rasa terima kasih ananda yang tidak seberapa harganya.”

Mamanya berdiri terpukau pada kata-kata anak gadisnya terharu pada jalan pikirannya, yang dia tak sangka-sangka, dia langsung memeluk anaknya, terguguk-guguk menangis.

Keduanya tersedu-sedu, hadirin menitikkan air mata pula, suasana mencekam terasa dan hening agak lama, kemudian kakak pembawa acara berkata :
”Para hadirin yang mulia, ini memang kejutan bagi kita, karena acara ini berbeda dengan tahun yang lalu. Lia tidak mau tiup lilin di acara ini karena ditemukannya di ensiklopedia Manusia di Zaman Batu di Eropah yg percaya pada kekuatan nyala lilin, begitu tahayulnya, bisa mengusir sihir, roh jahat, leak dan memedi begitu katanya, termasuk sijundai, setan, hantu, kuntilanak dan gendruwo. Dan itu berlanjut ke zaman Romawi kuno, Lalu dikarang lagi berikutnya superstisi, yaitu apabila lilin-lilin itu sekali tiup nyalanya semua mati, maka akan terkabul apa yang jadi cita-cita di dalam hati. Lia tidak mau acara ulang tahunnya ini ternoda oleh tahayul seperti itu. Acara yang ditentukan oleh budaya jahiliah zaman purbakala.

Katanya: ’Kok tiupan nyala 16 lilin bisa menentukan nasib saya?
Allah yang menentukan nasib saya, sesudah kerja keras saya, saya tidak mau dibodoh-bodohi tahayul walau pun itu datangnya dari barat atau pun timur juga. Saya tidak mau dibodoh-bodohi budaya mereka, Minta kado dari Papa dan Mama, minta kado dari keluarga dan kawan-kawan saya.
Saya tidak mau cuma jadi kawanan burung kakaktua, burung beo yang pintar meniru adat Belanda dan Amerika dalam acara ulang tahun kita" begitu katanya.

Sesudah bertangis-tangisan dengan ibunya, berkatalah yang berulang tahun itu,
”Hadiah paling saya harapkan dari kalian adalah doa bersama, sesudah hamdalah dan salawat karena saya ingin jadi anak yang baik, jadi perhiasan di leher ibuku , jadi penyenang hati ayahku, rukun dengan kakak-kakak dan adik-adikku, bertegur-sapa dengan semua tetangga. Dan kelak ketika dewasa berguna bagi bangsa.”
Anak yatim piatu yang mendapat undangan itu bersama kawan-kawannya disilakan makan bersama-sama.

Dengarlah kisah kesannya kini:
”Dalam acara makan kunikmati nasi beras Rajalele yang putih gurih, dendeng tipis balado, ikan emas panggang dan udang goreng, besar dan gemuk-gemuk. Belum pernah aku memegang udang sebesar itu.

Di asrama ikan asin dan tempe, seperti nyanyian yang nyaris abadi, kadang-kadang makan pun cuma sekali sehari.

Ketika kulayangkan pandangku ke depan, kulihat tuan rumah yang baik hati itu bapak dan ibu itu berdiri bersama Lia anak gadisnya, berbicara amat mesranya.

Kubayangkan ayahku almarhum, mungkin seusia dengan bapak ini, beliau meninggal ketika umurku setahun,
Kubayangkan ibuku almarhumah wafat ketika aku kelas enam SD, mungkin seusia pula dengan ibu itu
Tidak pernah aku merayakan ulang tahunku, Tidak pernah.
Semoga sorga firdaus jua bagi ibu bapakku.. aamiin..

Panas mengembang di atas pipiku, tak tertahan titik air mataku.”


by "Taufik Ismail"

0 Response to "Di Acara Ulang Tahun Itu"

Post a Comment