Beginilah Terapi Peluk Dan Reframing


Terapi Peluk Dan Reframing

"Mba Noov, gimana sih caranya jadi ibu yang sabar, yang lembut, yang gak gampang marah-marah sama anak, yang gak suka nyubit."

Hmmm saya sebenarnya bingung kalo ditanya begitu. Karena dasarnya, saya itu punya bakat pemarah dan kasar. Tapi kalo boleh saya mau sharing pengalaman saya mengelola emosi yang masih berproses hingga sekarang. 

Kalau yang mengikuti status saya dari dulu dulu, pasti tahu saya punya innerchild yang sedang saya sembuhkan. Alhamdulillah nya, Allah menjodohkan saya dengan seorang lelaki yang sebelumnya sudah punya 'kabel pengasuhan' yang baik dari orang tuanya. Sehingga, saya bisa belajar tentang menjadi orang tua yang lembut darinya dan keluarganya. 

Perjalanan pengelolaan emosi saya berawal sejak hari pertama menikah. Suami saya, dengan tegas tapi lembut mengatakan bahwa tidak boleh ada marah-marah, bentak-bentak, teriak-teriak, atau pukul-pukul di keluarga kami. Baik untuk hubungan suami istri maupun orang tua ke anak. 

Maka, saya coba pegang betul nasihat suami saya ini. Tapi, tentu saja praktiknya tidak semudah dan semulus itu. Saya yang dasarnya mudah marah tidak bisa serta merta jadi istri dan ibu yang lembut. 

Awalnya, setiap kali mau marah, saya memilih time out. Lari. Bersembunyi. Menenangkan diri sejenak agar siap menghadapi anak dengan senyuman. Sesaat cara ini berhasil membuat saya tidak marah-marah. Tapi kemudian, setelah lama memperhatikan, suami saya komplain. 

"Kok bisa, Qairina nangis begitu mamahnya malah kabur. Menenangkan diri sendiri. Apanya yang harus ditenangkan? Siapa yang sebenarnya perlu ditenangkan?" 

Pertama mendengar komplainnya, saya 'mendidih', lalu menjawab sambil terisak, "Papah gak tau sih gimana susahnya mengontrol emosi! Papah pilih mana, mamah marah-marah atau menenangkan diri sendiri dulu?" 

"Kenapa harus ikut marah? Apa salah Qairina?"

Jleb. Saya mulai berusaha mencerna apa yang diucapkan suami saya. Kenapa saya harus terbawa emosi? 

Lalu saya bertanya pelan, "Lalu mamah harus bagaimana?"

Dia menjawab tegaas.

"Peluuuk. Peluuuk erat Qairina. Tenangkan emosinyaa."

Saya masih ngeyel. "Bagaimana mungkin bisa memeluk dan menenangkannya kalo mamah sendiri gak tenang?"

"Coba dulu ajaa. Papah kalo liat Qairina rewel, terus agak kesal sama dia, papah peluuk. Begitu memeluk Qairina, rasa kesal itu seketika hilaang berganti rasa sayang." 

Dia melanjutkan lagi, "Saat anak menangis itu artinya dia sedang membutuhkan sesuatu dari kita. Dia butuh kita untuk membuatnya nyaman. Maka, kalo mamah malah lari menenangkan diri sendiri, papah sebal. Jangan lari mah, hadapi tangisannya, berikan rasa nyaman. Peluk. Lepas emosi kita sendiri saat memeluk anak. Insya Allaah dia akan lebih mudah ditenangkan." 

Saya terdiam, kata-katanya membuat saya skakmat. Tak berkutik. Saya mencoba meresapi makna yang coba disampaikannya. 

Sejak saat itu, saat menemui kondisi yang membuat saya hampir marah ke anak, saya coba praktikkan nasihatnya. Sambil otak saya terus berusaha me-reframe apa yang saya lihat dari sudut pandang yang positif. Dan setelah saya reframe banyak hal yang menyebabkan Qairina tantrum, sebenarnya memang marah-marah itu tidak diperlukan. Anak tidak akan 'berulah' kalo kita sudah memenuhi haknya dengan sebaik-baiknya. 

Anak menyobek-nyobek buku?
Ah mungkin saya yang kurang menstimulasi motorik halusnya sehingga dia belum cekatan memegang dan membolak-balikkan buku. Tak perlu marah-marah, kasih senyuman, ajak anak merapikan buku yang diobek sambil bermain. 

Anak berteriak-teriak karena keinginannya gak diturutin?
Ah mungkin saya kurang memperhatikannya saat dia bersikap baik, sehingga dia 'mencari perhatian' dengan cara berteriak. Peluuk, minta maaf, biarkan dia me-release emosinya, setelah reda tanyakan apa keinginannya baik-baik. 

Anak rewel minta ditemenin bermain padahal saya capek habis pulang kerja atau habis melakukan seabrek pekerjaan rumah tangga? 
Ah bukan salahnya. Saya yang belum menunaikan kewajiban saya menemaninya bermain. Dia hanya meminta haknya. Tak adil jika saya memintanya mengerti kalo saya capek, dia hanya seorang balita, saya lah orang yang dewasa. Maka, tarik nafas, cuci muka/wudhu, kembali temui anak dan ajak dia bermain sesukanya dengan sepenuh jiwa dan raga. 

Anak bikin rumah berantakan?
Alhamdulillah rumahnya jadi lebih hidup. Alhamdulillah itu artinya anak sehat. Ingat saat dia tergolek lemas di bangsal rumah sakit. Rumah rapi, tapi tak ada tawa yang bergema di udaranya. Penuhi dulu hati dengan syukur, lalu ajak merapikan mainan sama-sama sambil bernyanyi atau main games. Kalo tetap tidak mau, atau hanya mau membantu setengah-setengah pun tak apa, tak perlu dipaksa. Cukup contohkan kalo habis bermain, mainan harus dirapikan kembali. 

Anak rewel di tempat umum atau di tempat antrian?
Ah mungkin saya membuatnya bosan sehingga dia rewel. Atau saya tidak cukup membawa mainan atau buku yang bisa membuatnya tenang. Atau saya yang terlalu memaksa mengajaknya ikut tanpa terlebih dulu bertanya kesediannya. 

Nah, ternyata memeluk sambil me-reframe pikiran sendiri itu bisa jadi emosional healing buat saya. Alhamdulillah, saya jadi lebih bisa mengelola emosi. 

Belakangan, 'terapi peluk' dan me-reframe pikiran ini juga saya terapkan untuk suami. Saat saya sebal, marah, atau ada unek-unek yang ingin disampaikan, saya memeluk suami. Awalnya gengsiiii, masa sih lagi sebel malah peluk peluk suami, tapi alhamdulillah ini bisa menjaga kelembutan saya sebagai seorang istri. Paling tidak, jadi tidak marah-marah dan ngomel-ngomel sama suami. 😁

Saat lagi marah, saya peluuk suami sambil bisikin, "Mamah lagi sebel sama papah."

Biasanya dia akan tertawa sambil bertanya, "Hahaha lagi marah kok meluk?"

"Iya, habisnya mamah marah sama papah. Tapi takut takut dilaknat Allah."

"Hahaha kalo begitu jangan marah."

"Habisnya papah nyebelin sih."

Dan mengalirlah dialog diantara kami, biasanya suami akan kuras habis unek-unek saya. Kalo saya lagi emosi banget, ceritanya bisa tersendat-sendat karena sambil terisak. Tapi dia dengarkan sampai saya puas ngomong.  Baru dia kasih alasan, balasan, dan kritikan balik ke saya. Lalu kami saling berkompromi dan saling meminta maaf. 

Kalo posisinya dia yang marah sama saya. Saya peluk juga. Ngomong sambil takut-takut. "Papah jangan marah dong sama mamah. Nanti Allah gak ridho sama mamah. Nanti syetan seneng, tepuk tangan bersorak sorai liat kita marahan. Terus nanti siapa yang peluk mamah?" 

Biasanya kalo dibegituin, jadi reda marahnya. Mungkin kasian kalo istrinya gak diridhoi Allah. Atau kasian bayangin istrinya meluk tiang listrik. 😁

Alhamdulillah terapi peluk dan me-reframe ini berhasil diterapkan di keluarga saya. Meskipun tetap, praktiknya sungguh up and down. Tapi alhamdulillah bisa bikin saya minimal gak pake bentak, nyubit, atau mukul anak. Minimal tidak ada luka yang saya tinggalkan untuknya. Kalo kesel kesel dikit ya manusiawi, cuma tetap diusahakan hilang sama sekali. 

Memeluk memungkinkan kita untuk menghidupkan sensor cinta untuk orang tersayang kita.
Memeluk memungkinkan kita untuk menyamankan diri sendiri lewat sentuhan fisik dengan orang tercinta.
Memeluk memungkinkan kita untuk menyampaikan bahasa cinta yang paling terasa.
Memeluk tidak memungkinkan kita untuk saling berteriak, saling membentak, atau saling memarahi meski sedikit saja.
Memeluk membantu kita melepas emosi yang menjalari pikiran dan jiwa kita.

Jadi, ayo peluk orang-orang tercinta kita apapun keadaannya.
Peluk ketika merasa senang. Peluk ketika merasa sedih. Bahkan peluk ketika merasa marah. Dan rasakanlah sensasi emotional healing nya. 😊


Sumber : Fb : Novika Amelia

0 Response to "Beginilah Terapi Peluk Dan Reframing"

Post a Comment