Mereka Adalah Pintu Surga Yang Terbuka
Feb 3, 2018
Add Comment
Kemarin sore seorang teman menunjukkan sebuah foto yang ada di WAG
RT-Nya, wilayah Mungkin Magelang. Mayat dua orang sepuh yang sudah membengkak,
menghitam dan mulai berair. Saya hanya melihat sekilas karena tidak punya cukup
nyali memandangnya lekat.
Jenasah kakek nenek itu ditemukan beberapa hari setelah kematiannya
oleh menantu dan tetangga. Tak ada yang tahu persis kapan mereka berdua wafat.
Kata polisi kemungkinan sudah seminggu berlalu. Mereka meninggal tanpa kata,
tanpa pamit dan yang pasti tanpa didampingi oleh anak, menantu dan cucu-cucunya.
Bukan karena mereka tak punya, namun tak ada satu pun anak yang bisa
menemani dan merawat mereka di hari-hari
tuanya. Anak-anak mereka tinggal di luar kota.
Saya ikut sesak menahan air mata. Lelaki sepuh itu akhirnya
meninggal dalam keadaan duduk
bersandar pada kursi kayu di
ruang tamunya.
Lelaki itu sehar-harinya adalah suami yang merawat istrinya yang stroke
dan sudah tidak bisa beraktivitas apapun kecuali berbaring di tempat tidur.
Polisi memperkirakan kematian lelaki sepuh ini terjadi lebih dulu. Istrinya
menyusul wafat kemudian, banyak orang mereka-reka : sang istri meninggal karena
selama berhari-hari tak makan minum atau melakukan aktivitas lainnya, karena
sang suami yang selama ini menjadi satu-satunya 'perawat' terlebih dahulu meninggal
dunia.
Bisakah anda bayangkan keadaan mereka berdua ? saat sang istri
memanggil suaminya berkali-kali dalam resah namun tak ada jawaban apapun. Resah
bukan saja karena ia sendiri merasa lapar, sakit dan tak berdaya. Namun
mengkhawatirkan keadaan belahan jiwa namun tak bisa berbuat apa-apa karena
badan tak lagi bisa digerakkan bersebab stroke menahun.
Sang suami juga tak bisa mengabarkan siapapun untuk menggantikannya
merawat istri tercinta. Kematian datang tanpa mengucapkan salam pemberitahuan. Begitu
tiba-tiba dan sangat nyata.
Mereka berdua meninggal di dalam rumah mereka sendiri. Rumah yang
menjadi saksi saat pernikahan mereka bermula, saat mereka melahirkan anak demi
anak. Membesarkan anak-anak mereka dari bayi merah, hingga akhirnya bisa merangkak
perlahan, berjalan, berlari … dan akhirnya pergi sendiri-sendiri menapaki jalan
takdirnya.
Menjadi orang tua memang merupakan jalan panjang untuk melepaskan seorang
anak agar mampu menjalani kehidupan mereka sendiri, karena itulah mengapa
kisah pengasuhan anak menjadi rumit. Karena pengasuhan telah melibatkan berjuta ragam emosi dan
kenangan. Anak-anak lahir dari Rahim ibunya, membawa DNA bapaknya, besar dengan
keringat dan airmata orang tuanya : namun bukan milik orang tuanya.
Orang tua harus ridho melepaskan anaknya menjalani peran kehidupannya
sendiri, suatu waktu. Bahkan saat sang anak memutuskan untuk pergi mengembara
menggapai mimpi-mimpi mereka. Dan bagi orang tua, ternyata berpisah dengan anak itu bukan urusan
mudah.
Meski teknologi membuat kita bisa menatap wajah keriput mereka di layar
HP, ternyata taka da yang bisa mengobati rindu sebaik dekapan hangat dan
ketulusan cinta. Sebanyak apapun uang tak akan bisa membeli perhatian,
senyuman, dukungan dan pelayanan tulus.
Mereka adalah pintu surga yang terbuka. Berbuat baik pada mereka bahkan
lebih didahulukan daripada jihad. Menafkahi mereka adalah keutaamaan yang
besar. Bersabar atas mereka adalah pahala yang besar dihadapan ALLAH.
Waktu berlalu, usia mereka bertambah, badan mereka makin lemah,
kematian semakin mendekat. Bukan tentang kematian mereka, namun juga tentang
jatah kematian diri kita. Adakah yang bisa menjamin bahwa kita bisa setua
mereka dan punya waktu untuk melanjutkan mimpi yang tak ada habisnya ?
0 Response to "Mereka Adalah Pintu Surga Yang Terbuka"
Post a Comment