Haramkah Musik Atau Nyanyian Menurut Islam? Simak Ini Penjelasannya
Jan 21, 2020
Add Comment
Silang pendapat tentang hukum dari nyanyian atau musik sudah berlangsung lama, dan melibatkan para ulama besar dalam sejarah.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan ada di antara manusia yang membeli ucapan yang melengahkan untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itulah yang buat mereka siksa yang menghinakan; dan dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling sambil menyombongkan diri bagaikan dia belum mendengarnya. Seakan-akan di kedua telinganya ada sumbatan maka gembirakanlah tentang siksa yang pedih.”
Demikianlah — seperti yang tercermin pada ayat-ayat yang lalu — sikap para al-muhsinin yang menerima dengan baik petunjuk Alqur’an. Manusia berbeda-beda dalam menyambut kitab sempurna itu. Ada yang menerima baik, ada yang ragu dan ada juga di antara manusia yang sungguh mengherankan sikapnya, yakni yang membeli ucapan yang melengahkan bacaan atau apa saja yang tidak bermanfaat untuk menceritakannya kepada orang lain dan menggunakannya dengan tujuan menyesatkan, serta mengalihkan siapa pun yang dapat dia alihkan dari jalan Allah, yakni tuntunan Alqur’an, tanpa sedikit ilmu pun, dan di samping itu dia menjadikannya secara bersungguh-sungguh, yakni jalan Allah itu, bahan olok-olokan. Mereka itulah yang sungguh jauh kebejatan moralnya yang buat mereka siksa yang menghinakan.
Jangan duga bahwa mereka lupa atau tidak ditegur. Justru sebaliknya, dia ditegur dan apabila dibacakan, bukan hanya sekali tetapi dari saat ke saat dibacakan, kepadanya ayat-ayat Kami oleh siapa pun, dia berpaling setelah mendengarnya, dan bukan sekadar berpaling tetapi sambil menyombongkan diri bagaikan dia belum pernah mendengarnya. Yakni, sama saja keadaannya terus-menerus angkuh, baik sebelum maupun sesudah dia mendengarnya. Seakan-akan di kedua telinganya ada sumbatan sehingga, betapapun diupayakan untuk memperdengarkannya, dia tidak dapat mendengar. Nah, karena demikian buruk sikapnya, maka gembirakanlah, yakni sampaikan kepadanya sebagai kecaman dan ejekan, tentang siksa yang pedih yang telah menantinya.
Sementara ulama mengemukakan riwayat bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan tokoh kaum musyirikin, yaitu an-Nadhr Ibn al-Harits, yang sengaja membeli buku-buku cerita dan dongeng ketika melakukan perjalanan perdagangan di Persia. Dia berbangga dengan kandungan buku itu dan mengundang orang mendengarnya agar mereka beralih dari Alquran. Ada riwayat lain yang menyatakan bahwa ayat di atas turun menyangkut seorang dari suku Quraisy bernama Ibn Khathal yang membeli seorang budak wanita yang pandai menyanyi sehingga sekian banyak orang terbuai dengan nyanyian dan lengah terhadap Alquran.
Kata yastari/membeli digunakan Alquran untuk segala sesuatu yang diperoleh dengan jalan menyerahkan sesuatu sebagai pembayarannya. Dalam konteks ayat ini, Sayyid Quthub melukiskan pembayaran tersebut bisa dalam bentuk harta, waktu, atau bahkan hayatnya.
Kata lahw adalah sesuatu yang melengahkan, yang mengakibatkan tertinggalnya yang penting atau yang lebih penting. Ayat di atas, walau menggunakan kata lahwa al-hadits/ucapan yang melengahkan, para ulama tidak membatasinya pada ucapan atau bacaan saja. Mereka memasukkan segala aktivitas yang melengahkan. Menurut al-Biqa’i, ia adalah segala yang melengahkan berupa aktivitas yang dilakukan dari saat ke saat dan yang membawa kelezatan sehingga waktu berlalu tanpa terasa. Seperti nyanyian, lelucon, dan lain-lain.
Al-Qurthubi menjadikan ayat ini sebagai satu dari tiga ayat yang dijadikan dasar oleh ulama memakruhkan dan melarang nyanyian. Ulama ini menyebut nama-nama Ibn Umar, Ibn Mas’ud, dan Ibn ‘Abbas ra., tiga orang sahabat Nabi SAW., serta sekian banyak ulama lain yang memahami kata lahwu al-hadits dalam arti nyanyian. Ibn Mas’ud—tulisnya—bahkan bersumpah tiga kali menyatakan bahwa kata al-lahwu di sini adalah nyanyian. Ayat kedua adalah QS. al-Isra ayat 64 dan ketiga yaitu QS. an-Najm ayat 61.
Dalam satu pertanyaan yang diajukan kepada penulis tentang hukum nyanyian, penulis menjawab bahwa: Agama Islam memperkenalkan dirinya antara lain sebagai agama yang sejalan dengan fitrah/naluri/kecenderungan bawaan manusia sehingga tidak mungkin ada suatu pun ajarannya yang bertentangan dengan fitrah. Salah satu fitrah itu adalah kecenderungan manusia kepada keindahan, baik berupa pemandangan alam, keindahan wajah, aroma yang harum, dan tentu termasuk juga suara merdu. Tuhan tidak mungkin menciptakan itu dalam diri manusia kemudian dia mengharamkannya.
Musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan. Musik telah lama dikenal manusia dan digunakan untuk berbagai keperluan selain hiburan, seperti pengobatan, mengobarkan semangat, bahkan menidurkan bayi.
Memang, kebanyakan ulama abad II dan III Hijrah—khususnya yang berkecimpung di bidang hukum—mengharamkan musik. Imam Syafi’i, misalnya, menegaskan bahwa diharamkan permainan dengan nard (alat musik yang terbuat dari batang kurma) dan bahwa tertolak kesaksian seorang yang memiliki budak wanita kemudian mengumpulkan orang mendengar nyanyiannya. Imam Abu Hanifah memandang bahwa mendengar nyanyian termasuk dosa. Ini berbeda dengan pandangan kaum sufi. Mereka pada umumnya mendukung nyanyian. Ibn Mujahid tidak menghadiri undangan kecuali jika disuguhkan nyanyian.
“Ramat Allah turun kepada kelompok sufi, antara lain karena mereka mendengar nyanyian yang mengesankan hati mereka sehingga mereka mengakui kebenaran,” begitu kata sufi besar, al-Junaid.
Imam al-Ghazali secara tegas membolehkan musik. Bahkan ia berpendapat bahwa nyanyian dapat menimbulkan ekstase (keadaan amat khusyuk sampai tidak sadarkan diri). Boleh jadi lebih dari apa yang ditimbulkan oleh faktor-faktor lain. Pendapat ini didukung oleh hampir semua kaum sufi.
Al-Ghazali mengecam mereka yang mengharamkan musik/nyanyian. Walaupun dia mengakui adanya larangan Nabi, ia mengaitkan larangan mendengar musik atau nyanyian itu dengan kondisi yang menyertainya atau dampak negatif yang dilahirkannya. Hadis Nabi yang melarang nyanyian, antara lain, adalah yang dilakukan wanita di hadapan lelaki di bar (tempat menyuguhkan minuman keras). Ada haditshadit Nabi yang sahih menunjukkan kebolehan bernyanyi atau menggunakan alat musik, antara lain bahwa ‘Aisyah RA., pernah mendengar nyanyian di rumah Nabi dan Nabi tidak menegurnya.
Menurut al-Ghazali, adanya izin kepada Aisyah menunjukkan bolehnya menyanyi. Adapun larangan yang ada, ia harus dilihat konteksnya. Ulama-ulama yang melarang musik menamainya sebagai alat al-malahi (alat-alat yang melalaikan dari kewajiban/sesuatu yang penting). Dalam konteks inilah musik menjadi haram atau makruh. Tetapi, jika musik mendorong kepada sesuatu yang baik, maka ia dianjurkan. Lagu-lagu berbahasa Arab sekali pun, atau yang berirama kasidah, dapat saja menjadi haram bila mengandung kalimat yang tidak wajar atau mengundang rangsangan kemungkaran.
Almarhum Mahmud Syaltut, mantan pemimpin tertinggi al-Azhar Mesir, dalam fatwanya menegaskan bahwa para ahli hukum Islam telah sepakat tentang bolehnya nyanyian guna membangkitkan kerinduan melaksanakan haji, semangat bertempur, serta dalam peristiwa-peristiwa gembira, seperti lebaran, perkawinan, dan sebagainya. Adapun selain itu, memang diperselisihkan. Tetapi semua alasan untuk melarangnya — selama tidak menimbulkan dampak negatif -- tidak dapat dibenarkan. Demikianlah.. Wallahu A’lam bishawab.
sumber : tirto.id
Naskah diambil dari buku "Tafsir al-Mishbah Vol. 10" yang diterbitkan penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.
0 Response to "Haramkah Musik Atau Nyanyian Menurut Islam? Simak Ini Penjelasannya"
Post a Comment