Aku Terlambat Jatuh Cinta Kepadamu
Sep 5, 2018
Rumah masih ramai setelah pulang dari pemakaman, kepalaku masih pusing karna tak bisa menahan tangis melihat jasad terakhir istriku dimasukkan ke liang lahat. Aku makin tak bisa menahan airmata saat melihat anak-anak menangis memandangi orang-orang yang menimbun tubuh ibu mereka. Lama aku diam di pemakaman, mengingat kembali saat istriku masih ada. Aku ingat semua dosaku, kesalahanku, mulut kasarku, ketidakpedulianku, bahkan yang paling aku ingat membiarkan dia berpikir sendiri tentang keuangan keluarga.
Aku pikir saat dipemakaman adalah momen tersedih yang aku alami sepanjang hidupku, ternyata itu belum apa-apa. Banyak kepiluan-kepiluan lain yang membuatku serasa hancur. Mulai saat malam setelah rumah ini kosong dari pelayat, anak-anak seperti tidak mau tidur tanpa ibunya. Mereka masih menangis sesengukan. Aku hanya bisa memeluk mereka tanpa bisa menyembunyikan kesedihan diwajahku.
Putriku yang berusia 5 tahun beberapa kali berlari kekamar sambil memanggil ibunya. Sepertinya dia lupa bahwa ibunya telah tiada. Kemudian ia keluar lagi dg wajah kecewa.
Malam berlalu tanpa aku bisa melelapkan mata sedetikpun. Aku memandangi anak-anak yang tidur dengan gelisah. Sebentar-sebentar terbangun dan putra pertama kami yang berusia 9 tahun ternyata menangis sambil melekatkan wajahnya dibantal. Adiknya laki-laki berusia 7 tahun udah tertidur, namun sesekali ngigau memanggil ibunya. Sungguh aku tak tenang malam itu. Rasanya rumah ini hampa.
Beberapa hari masih dengan suasana yang sama, masih ada kerabat yang membantu masak dan menyapu rumah hingga hari ketiga. Masih banyak tetangga yang memeluk dan menguatkan anak-anak. Hingga tibalah hari yang membuat aku amat sedih. Yaitu hari ketika mereka mulai masuk sekolah.
Pagi itu mereka semua sudah bangun, aku kebingungan, anak-anakku juga seperti bingung mau berbuat apa. Biasanya pagi kami selalu dibangunkan, disuruh mandi dan sholat, disiapkan pakaian, dibuatkan sarapan dan kami berangkat dalam keadaan rapi dan perut yang sudah kenyang. Hari ini semua kami hanya diam. Aku menyuruh anak-anak melihat makanan dikulkas tapi yang ada hanya bahan mentah. Rumah yang biasanya rapi nampak berantakan. Aku pergi membeli sarapan untuk kami berempat. Saat membayar aku kaget uang 50rb tanpa kembalian. Padahal selama ini aku memberi uang 50rb kepada istriku cukup untuk makan kami sampai malam.
Kadang-kadang aku marah-marah kalau dia minta tambahan. Aku bawa sarapan pulang dan anak-anak sudah menunggu dimeja makan. Sudah jam 7.30 biasanya mereka sudah diantar kesekolah semuanya diantar istriku berbarengan, sementara aku baru pulang beli sarapan. Dalam hati kalau terlambat semoga dimaklumi karna habis kemalangan. Saat mau makan aku tidak tau dimana piring dan sendok, mengambilkan air dan dimana letak gelas. Saking aku yang selalu dilayani semua oleh istri.
Aku makin merasa kacau saat jam sudah menuju jam 8 dan anak-anak belum terantar semua. Aku benar-benar kehilangan seorang dewa dalam rumah kami. Inikah yang selama ini dilakukan istriku? Mengapa aku selalu menganggap dia tak ada kerjaan. Selalu menganggap sepele pekerjaan seorang ibu.
Aku masih linglung ditempat kerja. Masih banyak teman2 yang menghampiri mengucapkan belasungkawa. Hingga aku ditelpon oleh walikelas anak ku yang masih TK katanya anak2 udah pulang tapi belum ada yang jemput, aku minta ijin pergi menjemput anak dan jam 12 anakku yang no 2 juga menelpon minta dijemput karna udah pulang. Selama ini aku tak tau satupun jadwal mereka. Aku hanya bekerja dan tak peduli dengan itu semua. Anakku yang besar pulang jam 2 artinya aku tak bisa kembali ketempat kerja. Sampai disekolah anakku, aku masih melihat didepan sekolah masih ada bekas darah saat istriku kecelakaan 3 hari lalu, kecelakaan yang serta merta merenggut nyawanya saat menjemput anak sulungku.
Sampai dirumah anak-anak nampak kelaparan, biasanya dibekali makan dan yang TK katanya biasanya dijemput dan lansung makan dirumah. Baru kembali jemput abangnya setelah makan. Ternyata aku tak tau manajemen waktu sehebat almarhumah istriku. Aku harus kewarung makan lagi untuk pergi membeli makan siang. Begitupun nantinya makan malam. Sehingga tidak kurang dari 200rb sampai malam. Aku berpikir ini baru 1 hari, bagaimana kalau 1 bulan. Gajiku tidak akan cukup untuk kami berempat.
Malam ini anak-anak juga mengingatkanku tadi mereka tidak ada yang ngaji karna tidak ada yang mengantarkan ketempat ngaji mereka. Ya Allah . . Indah sekali caramu menegurku, Begitu kacaunya hidupku tanpa istriku, keuangan makin amburadul, anak-anak tak terurus, makanan favoritku tidak ada lagi. Rumah dan tanaman seperti hilang aura karna tak ada yang merawat dan membersihkan.
Aku masih sempat merasa wanita diluaran lebih cantik dari istriku. Andai aku bisa menebus apapun yang telah aku lakukan kepada istriku selama ini aku ingin memperbaikinya. Aku ingin membantunya, menyayanginya sepenuh hati dan tak akan pernah berkata kasar kepadanya. Dia begitu lelah setiap hari, tapi sepulang kerja aku masih sering membentaknya. Saat dia minta tambahan belanja aku berkata kasar kepadanya. Dia saat aku jadikan istri rela berpisah dengan anggota keluarga besarnya, hidup susah payah dan sederhana denganku. Maafkan aku istriku, andai aku bisa menebus semua kesalahanku, satu hari saja tanpamu kami seperti anak ayam kehilangan induknya. Berserakan.
Saat sholat aku kembali menangis sejadi-jadinya. Andai bisa kutebus, aku ingin menebus meski dengan nyawaku. Aku mau dia yang hidup menjaga anak-anak dan biarlah aku yang menghadap-Mu. Ini sangat berat bagiku apalagi bagi anak-anakku. Demikian do'a tengah malamku.
Aku tak tega melihat pakaian anak-anak yang kusut tak terurus, makan yang tak ada yang masak dan aku tak tega melihat mereka kekurangan kasih sayang. Jujur selama ini aku tak dekat dengan anak-anak. Mereka selalu sama ibunya. Aku hanyalah kerja, pulang, tidur dan kerja lagi. Aku tak tau apa-apa tentang urusan anak dan rumah.
Istriku, aku berdoa semoga lelahmu jadi ibadah, semoga semua yang kau lakukan untuk kami membawamu ke syurga, semoga engkau bahagia di alammu. Kali ini aku benar-benar menangis tersedu-sedu sambil membayangkan wajahmu. Kau tak pernah mengeluh dengan pekerjaanmu, kau tak pernah meminta sesuatu yang aku tak sanggup membelinya. Kau jalani semua dengan sabar dan aku merasa belakangan jarang memperhatikanmu. Jarang bertanya bagaimana anak-anak kita, jarang bertanya bagaimana hari-harimu.
Engkau ibu yang luar biasa bagi anak-anak kita. Semuanya terlihat saat engkau telah tiada kemurungan selalu menyelimuti wajah mereka. Mereka sering menangis, mereka sering salah memanggilmu sepulang sekolah. Mereka sering berlari kekamar kita seolah-olah engkau masih ada.
Kekasih hatiku, mengapa aku jatuh cinta padamu justru setelah engkau tiada. Tidak akan ada yang menggantikan dirimu dihatiku. Mengapa rasa cinta ku padamu menggebu-gebu saat dirimu sudah berada dipusara.
Maafkan aku istriku.