Benarkah Tahlilan Dan Yasinan Itu Sunnah Bukan Bid’ah, Cek Dalil Lengkapnya Disini
Apr 5, 2018
Add Comment
Islam disebarkan di Nusantara
oleh para ulama yang alim dalam hal ilmu agama, hal itu yang telah diyakini
oleh masyarakat Muslimin di Indonesia. Berdasarkan kealiman mereka, yang sudah
barang tentu melebihi kealiman orang-orang sekarang, mereka melakukan inovasi
dan melestarikan tradisi-tradisi Islam yang berlangsung hingga sekarang,
seperti tradisi Yasinan, Tahlilan 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan
lain-lain. Hanya saja karena umat Islam Nusantara, tidak pernah mempersoalkan
dalil-dalil teradisi amaliah Islami tersebut, para ulama kita jarang sekali
menjelaskan dalil-dalil tradisi tersebut.
Akan tetapi, setelah kaum
Wahabi mulai masuk ke Nusantara, mulai terjadi gugatan terhadap beragam tradisi
yang telah berkembang sebelumnya. Kaum Wahabi beralasan, bahwa tradisi tersebut
tidak memiliki dalil. Padahal sebagaimana kita maklumi, kaum Wahabi-lah yang
paling miskin dalil. Akan tetapi setelah para ulama kita menjelaskan
dalil-dalil tradisi tersebut, kaum Wahabi masih berkilah, “Itu mendalili amal,
bukan mengamalkan dalil.” Tentu saja, karena kaum Wahabi belum mampu menjawab
dalil-dalil yang dikemukakan oleh para ulama. Mengamalkan dalil dan mendalilkan
amal, selama dalilnya shahih, tidak ada bedanya.
Berikut ini dalil-dalil
bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu untuk melakukan kebaikan dan ibadah:
1) Dalil pertama, hadits Ibnu
Umar radhiyallahu ‘anhuma:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه البخاري
“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma
berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’
setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.” Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari, [1193]).
Hadits di atas menjadi dalil
bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu secara rutin untuk melakukan ibadah
dan kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan hari Sabtu
sebagai hari kunjungan beliau ke Masjid Quba’. Beliau tidak menjelaskan bahwa
penetapan tersebut, karena hari Sabtu memiliki keutamaan tertentu dibandingkan
dengan hari-hari yang lain. Berarti menetapkan waktu tertentu untuk kebaikan,
hukumnya boleh berdasarkan hadits tersebut. Karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata:
وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحه والمداومه على ذلك وفيه أن النهي عن شد الرحال لغير المساجد الثلاثه ليس على التحريم
“Hadits ini, dengan
jalur-jalurnya yang berbeda, mengandung dalil bolehnya menentukan sebagian
hari, dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara rutin. Hadits ini juga
mengandung dalil, bahwa larangan berziarah ke selain Masjid yang tiga, bukan
larangan yang diharamkan.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 69).
2) Hadits Sayidina Bilal
radhiyallahu ‘anhu
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: «يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : قَالَ لِبِلاَلٍ: «بِمَ سَبَقْتَنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَا أَذَّنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا أَصَابَنِيْ حَدَثٌ قَطُّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ للهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «بِهِمَا» أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ». رواه البخاري (1149) ومسلم (6274) وأحمد (9670) والنسائي في فضائل الصحابة (132) والبغوي (1011) وابن حبان (7085) وأبو يعلى (6104) وابن خزيمة (1208) وغيرهم.
“Abu Hurairah meriwayatkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal ketika shalat
fajar: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam
Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab:
“Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’,
baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua
rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau shallallahu
‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?”
Ia menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat
setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelahnya dan
harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih
derajat itu”.(HR. al-Bukhari (1149), Muslim (6274), al-Nasa’i dalam Fadhail
al-Shahabah (132), al-Baghawi (1011), Ibn Hibban (7085), Abu Ya’la (6104), Ibn
Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), dan al-Hakim (1/313) yang menilainya shahih.).
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap
selesai berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal melakukannya atas
ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya,
bahkan memberinya kabar gembira tentang derajatnya di surga, sehingga shalat
dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunnat bagi seluruh umat. Dengan
demikian, berarti menetapkan waktu ibadah berdasarkan ijtihad hukumnya boleh.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata
ketika mengomentari hadits tersebut:
ويستفاد منه جواز الاجتهاد في توقيت العبادة لأن بلالا توصل إلى ما ذكرنا بالاستنباط فصوبه النبي صلى الله عليه و سلم
“Dari hadits tersebut dapat
diambil faedah, bolehnya berijtihad dalam menetapkan waktu ibadah. Karena
sahabat Bilal mencapai derajat yang telah disebutkan berdasarkan istinbath
(ijtihad), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya.” (Al-Hafizh
Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 34).
3) Hadits Ziarah Tahunan
عن محمد بن إبراهيم قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يأتي قبور الشهداء على رأس كل حول فيقول:”السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار”، وأبو بكر وعمر وعثمان
“Muhammad bin Ibrahim berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi makam para syuhada’ setiap
tahun, lalu berkata: “Salam sejahtera semoga buat kalian sebab kesabaran
kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” Hal ini juga dilakukan
oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman. (HR. al-Thabari dalam Tafsir-nya [20345], dan
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya juz 4 hlm 453).
Hadits di atas juga disebutkan
oleh al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur hlm 185, dan ditentukan
bahwa makam Syuhada yang diziarahi setiap oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah Syuhada peperangan Uhud. Hadits ini dapat dijadikan dalil,
tentang tradisi haul kematian setiap tahun.
4) Atsar Sayyidah Fathimah
radhiyallahu ‘anha
عن محمد بن علي قال كانت فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه و سلم تزور قبر حمزة كل جمعة
“Muhammad al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin berkata: “Fathimah putrid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
selalu berziarah ke makam Hamzah setiap hari Jum’at.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf
[6713]).
عن الحسين بن علي : أن فاطمة بنت النبي صلى الله عليه و سلم كانت تزور قبر عمها حمزة كل جمعة فتصلي و تبكي عنده هذا الحديث رواته عن آخرهم ثقات
“Al-Husain bin Ali berkata:
“Fathimah putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam
pamannya, Hamzah setiap hari Jum’at, lalu menunaikan shalat dan menangis di
sampingnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [4319], al-Baihaqi dalam al-Sunan
al-Kubra [7000]).
5) Atsar Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ حَدِّثْ النَّاسَ كُلَّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ أَبَيْتَ فَمَرَّتَيْنِ فَإِنْ أَكْثَرْتَ فَثَلَاثَ مِرَارٍ وَلا تُمِلَّ النَّاسَ هَذَا الْقُرْآنَ. رواه البخاري.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
berkata: “Sampaikanlah hadits kepada manusia setiap hari Jum’at. Jika kamu
tidak mau, maka lakukan dua kali dalam sepekan. Jika masih kurang banyak, maka
tiga kali dalam sepekan. Jangan kamu buat orang-orang itu bosan kepada
al-Qur’an ini. (HR. al-Bukhari [6337]).
Keterangan:
Menetapkan hari-hari tertentu
dengan kebaikan, telah berlangsung sejak masa sahabat. Karena itu para ulama di
mana-mana, mengadakan tradisi Yasinan setiap malam Jum’at atau lainnya, dan
beragam tradisi lainnya. Hal ini telah berlangsung sejak masa salaf.
6) Atsar Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu
عَنْ شَقِيقٍ أَبِى وَائِلٍ قَالَ كَانَ عَبْدُ اللهِ يُذَكِّرُنَا كُلَّ يَوْمِ خَمِيسٍ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّا نُحِبُّ حَدِيثَكَ وَنَشْتَهِيهِ وَلَوَدِدْنَا أَنَّكَ حَدَّثْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ. فَقَالَ مَا يَمْنَعُنِى أَنْ أُحَدِّثَكُمْ إِلاَّ كَرَاهِيَةُ أَنْ أُمِلَّكُمْ. إِنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِى الأَيَّامِ كَرَاهِيَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا. رواه البخاري ومسلم
“Syaqiq Abu Wail berkata:
“Abdullah bin Mas’ud memberikan ceramah kepada kami setiap hari Kamis. Lalu
seorang laki-laki berkata kepada beliau: “Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya
senang dengan pembicaraanmu dan selalu menginginkannya. Alangkah senangnya kami
jika engkau berbicara kepada kami setiap hari?” Ibnu Mas’ud menjawab: “Tidaklah
mencegahku untuk berbicara kepada kalian, kecuali karena takut membuat kalian
bosa. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasehat
kepada kami dalam hari-hari tertentu, khawatir membuat kami bosan.” (HR.
al-Bukhari [70], dan Muslim [7305]).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak memiliki waktu tertentu untuk berceramah kepada para sahabatnya,
kecuali dalam khutbah Jum’at dan hari raya secara rutin. Beliau memberikan
nasehat kepada mereka kadang-kadang saja, atau ketika ada suatu hal yang perlu
diingatkan kepada mereka. Kemudian setelah beliau wafat, para sahabat
menetapkan hari-hari tertentu untuk menggelar pengajian. Hal ini membuktikan
bahwa menetapkan hari-hari tertentu untuk kebaikan hukumnya boleh.
7) Fatwa Syaikh Nawawi Banten
rahimahullah
والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب، ولا يتقيد بكونه سبعة أيام أو أكثر أو أقل، وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان، وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاد شيخنا يوسف السنبلاويني. (الشيخ نووي البنتني، نهاية الزين ص/281).
Bersedekah untuk orang meningga
dengan cara yang syar’i itu dianjurkan. Hal tersebut tidak terbatas dengan
tujuh hari, lebih atau kurang. Membatasi sedekah dengan sebagian hari, termasuk
tradisi saja sebagaimana fatwa Sayyid Ahmad Dahlan. Tradisi masyarakat telah
berlangsung dengan bersedekah pada hari ketiga kematian, ketujuh, keduapuluh,
keempat puluh, keseratus, dan sesudah itu dilakukan setiap tahun hari kematian,
sebagaimana dijelaskan oleh guru kami Yusuf al-Sunbulawaini. (Syaikh Nawawi
Banten, Nihayah al-Zain, hlm 281).
Paparan di atas memberikan
kesimpulan, bahwa menetapkan hari-hari tertentu untuk melakukan kebaikan secara
rutin, adalah tradisi Islami yang mulia, berdasarkan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan tradisi para sahabat. Alhamdulillah. (ISNU)
Sumber: Muslimoderat.net
Baldatuna.com
0 Response to "Benarkah Tahlilan Dan Yasinan Itu Sunnah Bukan Bid’ah, Cek Dalil Lengkapnya Disini"
Post a Comment