Penggembala Dengan Akhlak Yang Mulia


Penggembala Dengan Akhlak Yang Mulia

Seperti biasa, hari itu Muhammad kecil berangkat menggembalakan kambing ke lembah yang ditumbuhi rerumputan, bersama teman – teman sebayanya. Muhammad datang ke tempat itu untuk menggembalakan ternak saudaranya. Tak jarang mereka harus tinggal berhari-hari di dusun terpencil yang jauh dari Makkah.

Muhammad duduk di atas sebuah batu. Sepasang matanya yang tenang, penuh keikhlasan menatap tajam alam sekitarnya. Angin pegunungan yang bertiup menyegarkan badan. Matahari yang terbit di timur dan tenggelam di barat. Bulan dan bintang yang bermunculan pada malam hari. Semua teratur, berjalan sebagaimana mestinya. Jika tidak, pasti dunia ini akan binasa.

Pemandangan alam sangat menggoda hati Muhammad untuk terus merenungkan Sang Pencipta yang Maha Kuasa, sebaik-baik Pengatur alam beserta isinya. Muhammad duduk bertafakur, tenggelam dalam alam renungan.

Lalu, diperhatikannya kambing – kambing gembalaan yang memakan rumput. Khawatir ada yang berpencar terlalu jauh. Sebab, disekitar tempat itu masih ada serigala dan binatang – binatang buas yang mengincar hewan ternak.

“Hus ! Hus ! Jangan terlalu jauh dari indukmu. Nanti ada serigala !” serunya.

Ia sangat bertanggung jawab pada pekerjaannya. Sesekali kambingnya mengembik. Lalu, kembali makan dengan tenang. Ketika melihat anak kambing yang bermain terlalu jauh, ia menggiringnya agar berkumpul kembali dengan kambing-kambing lainnya.

Dengan cermat, Muhammad memeriksa keadaan kalau - kalau ada serigala yang mengincar kambingya. Jika memang ketahuan ada serigala, ia akan segera mengusirnya jauh-jauh.
Begitulah, Nabi Muhammad yang pada masa kecilnya bekerja menjadi penggembala kambing keluarganya.

Kambing gembalaannya berkembang biak dengan cepat. Walaupun keturunan bangsawan Quraisy dan sanak saudaranya banyak yang kaya raya, tetapi Nabi Muhammad tidak mau menggantungkan hidupnya kepada mereka. Sesudah Nabi Muhammad yatim piatu, Abu Thalib, pamannya yang hidup kekurangan, mengasuhnya dengan penuh kasih sayang.

Ketika Muhammad berusia dua belas tahun, ia mulai berdagang bersama Abu Thalib ke tanah Syam. Akan tetapi, gagal. Sebelum mereka sampai di Syam, seorang Pendeta bernama Buhaira memperingatkan bahwa jiwa Muhammad dalam bahaya. Abu Thalib pun segera membawa Muhammad pulang ke Makkah. Mereka hanya berdagang sekadarnya. Keselamatan Muhammad jauh lebih penting.

Sesudah itu, Abu Thalib mengajak Muhammad berdagang di pasar-pasar dekat kota Makkah saja. Dalam berdagang, Muhammad selalu melayani pembeli dengan ramah, tutur kata yang lemah lembut dan jujur. Ia pandai menawarkan barang dagangannya sehingga dagangannya cepat habis terjual.

Seperti juga menggembala kambing, usaha dagang Muhammad berhasil baik. Sedikit demi sedikit barang dagangannya bertambah dan memperoleh untung yang besar. kini Muhammad di kenal sebagai pedagang yang berhasil di kota Makkah. Tetapi, ia tetap selalu bersyukur kepada Allah. Beliau tetap giat bekerja, gemar bersedekah dan menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan.

Walau telah menjadi Nabi dan mempunyai kedudukan yang tinggi, beliau tetap melakukan sendiri pekerjaan hariannya. Nabi selalu menambal sendiri bajunya yang robek, atau menjahit terompahnya yang putus talinya.

Nabi Muhammad membawa sendiri barang yang dibelinya di pasar. Abu Hurairah yang saat itu menemaninya, menawarkan diri untuk membawakan belanjaan itu, tapi Nabi melarangnya.

“Yang memiliki barang itulah yang lebih pantas membawa barangnya. Sebab, Allah menyukai orang yang tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain,” kata Nabi.

Bahkan, dalam suatu perjalanan bersama sahabatnya, mereka beristirahat sebentar untuk memasak makanan. Nabi Muhammad ikut mencari dan memanggul kayu bakar untuk memasak.

“Ya Rasulullah, biarlah kami yang mencari dan mengangkut kayu. Anda silahkan beristirahat sambil menunggu hidangan,” kata salah seorang Sahabat.

“Aku pun harus ikut mencari kayu bakar,” kata Nabi seraya tersenyum. Beliau tidak ingin berpangku tangan, sementara yang lain sibuk bekerja.

Dalam peperangan pun, Rasulullah sebagai Panglima perang tidak hanya memerintah di tempat duduknya. Beliau ikut bertempur ke tengah medan pertempuran bersama sahabat – sahabatnya.

Salah satu peperangan yang hebat di zaman Rasulullah ialah Perang Khandak atau Perang Parit. Kaum Muslimin bekerja keras siang – malam untuk menggali parit raksasa. Nabi Muhammad pun ikut menggali dan masuk ke lubang parit. Bahkan, beliau menghancurkan batu-batu, menyekop, dan memikul tanah di bahunya.

Sewaktu menggali parit, para Sahabat kewalahan dengan adanya batu yang sangat keras. Batu itu sukar dipecahkan oleh linggis maupun besi. Mereka melaporkannya pada Rasulullah.

“Ada batu yang keras sekali. Rasanya kami tak sanggup memecahkannya. Bagaimana Ya Rasul ?” tanya Sahabat. Lalu, Nabi turun kedalam parit. Seketika itu, dengan besi di tangannya, batu-batu itu dipecahkan. Saking kerasnya pukulan, bongkahan batu itu sampai menyemburkan api saat besi ditimpakan diatasnya.

Sungguh, pekerjaan yang amat berat dan menguras tenaga. Namun, peperangan tidak pernah terjadi. Musuh tidak jadi menyerang. Allah yang Maha Kuasa mengusir mereka dengan kekuatan alam. Udara dingin dan badai gurun yang menakutkan, membuat musuh tak berdaya dan menyerah kalah.

Sejak kecil sampai akhir hayatnya, Nabi Muhammad tak pernah merepotkan orang lain. Malahan, beliau selalu memberi bantuan apa saja kepada orang-orang yang membutuhkannya. Betapa mulia akhlak Rasulullah, dan sepantasnyalah bagi kita seorang Muslim untuk mencontohnya.

0 Response to "Penggembala Dengan Akhlak Yang Mulia"

Post a Comment