Bunda, Mandikan Aku !

kasih sayang ibu

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliahku ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not the best ?'' katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Sedangkan saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Selain itu, Rani juga mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staff diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami meraih gelar PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Saya tak sempat mengira, apakah mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif (panggilan puteranya itu) berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak Garuda Indonesia, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.
Setulusnya, saya pernah bertanya kepadanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal ?''

Dengan sigap, Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK !''

Ucapannya itu benar-benar ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadwal Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti. Kakek Neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang dan uang yang banyak.

''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu Nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Alif pernah berkata kepada Rani kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya memberikan pengertian kepada anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, Alif tak lagi merengek minta adik. Alif tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut malam, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Sehingga, Rani sering memanggil anaknya itu dengan ''Malaikat kecilku''.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter-nya. ''Alif ingin Bunda yang mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya.

Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut. Peristiwa ini terus berulang-ulang sampai hampir sepekan.

“Bunda, mandikan aku !” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan dengan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.''
Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah mempunyai rencana lain. Alif, si Malaikat Kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Sedangkan Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya yang ia ingin kerjakan adalah memandikan putranya. Setelah sepekan lalu Alif menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si Malaikat Kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, lihat, Bunda sedang mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jama’ah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan ? Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan ?'' Saya diam saja.

Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi dari sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak.

Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja. Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa !'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua. Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.


Pesan moral :

Hal yang nampaknya sepele, sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat. Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunia dan ambisinya sendiri. Sehingga, mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka, jadi abaikan saja dulu. Kadang hal yang seperti inilah yang membuat banyak orang menyesal.

Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

Sebelum semua terlambat, dan sebelum semuanya menghilang dari hadapan kita. Jangan pernah lupakan orang-orang terdekat kita dan orang-orang yang kita sayangi. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari, karena orang-orang yang kita sayangi telah pergi selamanya dari hadapan kita.

0 Response to "Bunda, Mandikan Aku !"

Post a Comment